Showing posts with label Mistory. Show all posts
Showing posts with label Mistory. Show all posts

Tuesday, January 26, 2010

Cerita Hantu Ibu

Saat sedang melamun di kamar kos, aku teringat masa kecilku yang janggal, tentang aku, ibuku, dan cerita hantunya. Setidaknya ada dua pengalaman aneh yang berhasil kuingat, akan kucoba menceritakannya kembali dengan sisa-sisa ingatan yang ada…

---

Tongkat Mistik

Aku lupa berapa usiaku saat itu, yang pasti belum sekolah. Sekitar tahun 80-an atau awal 90-an. Saat itu aku dan keluarga berkumpul di ruang tengah dalam rumahku yang sempit, menonton televisi hitam putih kecil kami. Seingatku waktu itu aku sedang sakit dan tak henti-hentinya menangis, membuat keluargaku yang ada di situ merasa terganggu.

Tak ada yang berhasil meredakan tangisku, kemudian tiba-tiba ibuku mendekatiku lalu berbisik, “Ssst… jangan terlalu keras menangisnya, nanti makhluk halus yang ada di sini mengganggu kamu”.

Namun kata-kata ibuku itu tak berhasil membuatku berhenti menangis, aku masih tetap saja menangis, lalu ibuku menunjuk ke suatu arah, ia menunjuk sebuah tongkat yang tergeletak di atas lemari, entah tongkat apa itu.

Ibuku lalu berkata, “Lihat tongkat itu, tongkat itu berhantu, makanya jangan menangis lagi”.
Aku mulai terdiam meski masih sesengukan.

Beberapa saat kemudian ibuku tiba-tiba berkata, “Lihat!! Tongkatnya hilang!!”

Aku menoleh ke atas lemari, dan… benar saja! Tongkat itu sudah tidak ada di tempatnya tadi. Aku mengedarkan pandangan mencari-cari di mana tongkat itu berada gerangan. Lalu ibuku menunjuk ke arah tempat tidur, lalu kulihat di atas kelambu yang ada di tempat tidur tergeletak tongkat yang tadi!!!

Aku pun tak berani menangis lagi, sejalan dengan berlalunya waktu peristiwa itu terlupakan olehku. Pernah suatu saat - bertahun-tahun setelah kejadian itu - aku bertanya pada ibuku tentang peristiwa itu, namun ibuku bilang bahwa ia tidak ingat lagi. Mungkin itu hanya trik yang dilakukan ibuku untuk membuatku berhenti menangis, yah… kuanggap saja begitu.

---

Tengkorak Kuning

Dulu aku pernah punya mainan berupa gantungan kunci berbentuk tengkorak berwarna kuning, seingatku mainan itu pemberian sepupuku yang sering kutemani bermain. Aku lupa bagaimana awalnya sepupuku memberikan mainan itu padaku, aku juga tidak tahu darimana ia mendapatkannya. Aku selalu membawanya ke mana-mana, hingga ibuku melihat mainan tengkorak itu.

“Apa itu yang kamu bawa-bawa?” Tanya ibuku.

Aku lalu memperlihatkannya pada ibuku, lalu air mukanya berubah, sepertinya ia tidak senang dengan mainanku itu. Ibuku lalu berkata bahwa tidak baik punya mainan seperti itu, mainan itu tidak cocok untuk anak kecil. Meskipun enggan, aku lalu menyerahkan mainan itu pada ibuku, lalu mainan itu dibuang ibuku dengan cara melemparkannya jauh-jauh.

Setelah beberapa lama aku sudah melupakan mainan tengkorak itu, hingga suatu saat ibuku memanggilku. Aku lupa kenapa ibuku memanggilku waktu itu, yang aku ingat adalah kejadian berikutnya: saat ibuku merogoh kantong dasternya hendak mengambil sesuatu, tiba-tiba ia meringis kesakitan... dari dalam kantongnya ibuku memperlihatkan sesuatu padaku… sebuah benda berwarna kuning… berbentuk tengkorak…benda itu adalah mainanku yang pernah dibuang ibu!!!

Ibuku lalu berkata, “Kamu lihatkan sekarang, berbahayanya benda ini?”

Sejak saat itu image tengkorak dalam pikiranku berhubungan dengan sesuatu yang menakutkan. Sama seperti cerita sebelumnya, peristiwa tengkorak kuning ini lama terlupakan olehku dan juga sudah dilupakan ibuku. Menurutku ini hanyalah cara ibuku melarangku memiliki benda-benda atau mainan yang menakutkan atau tidak lazim… Wallahu a’lam…

Monday, January 25, 2010

Misteri Bunyi Lonceng di Malam Hari

Malam itu seperti malam-malam sebelumnya, biasanya kuhabiskan dengan surfing di internet, atau menonton film hasil download-an. Tak terasa sudah pukul 10 lebih, mataku sudah perih menatap monitor komputer, kuputuskan untuk tidur saja.

Setelah mematikan lampu kamar, aku merebahkan diri di kasurku yang tipis. Komputer kubiarkan menyala karena sedang men-download film yang sudah ada DVDRip-nya. Di luar teman sekosanku masih menonton televisi, karena samar-samar masih terdengar suara pesawat televisi.

"Ting... ting... ting..." Tiba-tiba terdengar suara lonceng, sepertinya asalnya dari depan rumah. Suara itu terdengar berpindah-pindah, di pikiranku terbayang seekor binatang piaraan yang dilehernya dikalungkan tali yang ada loncengnya, tapi apa ya... anjing? di sekitar sini tak ada anjing, dan buat apa ada anjing piaraan berkeliaran malam-malam begini. Mungkin sapi, tambah tidak masuk akal. Malam itu aku tidak begitu menghiraukan bunyi itu.

Beberapa malam berikutnya, di waktu yang sama suara itu terdengar lagi. Saat itu aku sedang sendirian di kos, sedang menonton televisi. Suara itu terdengar melintas di depan kosku, lalu balik lagi. Aku bergegas ke jendela untuk mengintip, namun suara itu sudah hilang ditelan kegelapan malam...

Suara itu sungguh membuatku penasaran. Saat ini aku masih menyelidikinya, aku menunggu saat suara itu muncul lagi... Jika ada perkembangan terbaru, akan ku-update-blog ini...

---

27 Januari 2010 Pukul 20.46

Karena sudah mengantuk, sehabis shalat isya aku langsung tidur. Entah sudah berapa lama aku merebahkan diri, aku merasa ada yang aneh dengan suara-suara yang kudengar, namun belum begitu kuhiraukan. Setelah beberapa lama baru aku sadar kalau suara lonceng itu terdengar lagi, tapi karena mengantuk jadi kubiarkan saja, kupikir masih ada kesempatan di malam-malam berikutnya. Tapi lama-lama aku terganggu juga, aku lalu bangkit dari tempat tidur lalu bergegas ke teras rumah untuk melihat... Ya ya ya... aku gagal lagi mengungkap bunyi apa sebenarnya itu...

---

12 Februari 2010

Sebenarnya sudah lama kasus ini terungkap, tapi aku malas menulisnya di blog karena ternyata di luar dugaan dan harapan. Padahal sudah mengharapkan sesuatu yang menegangkan, ternyata hanya... tukang sate keliling :(

Saturday, December 15, 2007

Dalam Perjalanan di Malam Hari (Bagian 2: Rasakan Horor di Bus)

Dua minggu kemudian setelah perjalananku ke Balikpapan sebelumnya, aku kembali ke Balikpapan untuk menghabiskan akhir pekanku. Tidak seperti dua minggu yang lalu, kali itu aku naik bus AC. Meskipun perjalanannya lancar, ada beberapa kejadian di bus itu yang ingin sekali aku ceritakan…

# Hembusan Hantu?!

Pukul 7 kurang beberapa menit aku tiba di pangkalan bus yang akan aku tumpangi ke Balikpapan. Beberapa penumpang telah naik di bus, sisanya masih nongkrong di sekitar pangkalan itu sambil menunggu bus berangkat. Aku memilih untuk menunggu di dalam bus. Kuraba saku celanaku untuk memastikan kalau aku telah membawa ponselku, lalu merogoh saku jaket untuk mengambil tiket. Kulihat tiketku dan disana tertera seat 9, kuedarkan pandanganku mencari tempat duduk bernomor 9. Aku ingat kata-kata seseorang yang keberadaannya tak pernah ada bahwa angka 9 di dunia antah berantah itu merupakan angka setan.

Tempat duduk nomor 9 berada di dekat jendela, di sebelahnya masih kosong, dan kuharap akan tetap kosong sampai bus berangkat. Kutaruh ranselku di bawah kursi lalu duduk bersandar sambil memejamkan mata. Saat itulah aku merasakannya… tiba-tiba aku merasa kedinginan, aku menggigil! Aku teringat sebuah film tentang hantu yang pernah aku tonton, kehadiran hantu dalam film itu ditandai dengan suhu yang tiba-tiba jadi dingin, bahkan uap bisa keluar dari mulut saking dinginnya. Jangan-jangan bangku kosong di sebelahku…

# Tawa Tak Tampak?!

Bus berangkat tepat pukul 7 lewat sedikit. Penumpang bus ternyata tidak terlalu banyak, kursi di sebelahku kosong sehingga aku bisa menguasai dua tempat duduk. Aku bersandar dengan nyaman di kursi sambil mendengarkan lagu lewat mp3 player, kemudian samar-samar terdengar suara lain yang bercampur baur dengan lagu yang sedang kudengar. Suara itu… seperti suara tawa, tapi tidak jelas apakah itu suara perempuan atau laki-laki.

Makin lama suara itu makin jelas, kulepas earphone dari telingaku, suara itu kini sangat jelas… suara anak kecil yang sedang tertawa. Namun saat itu di bus tak ada satupun anak kecil yang terlihat olehku. Saat suara itu kembali terdengar, kutatap keluar melalui jendela bus ke arah kegelapan malam… seakan suara itu berasal dari sana…

# Getaran Gaib?!

Karena lampu dimatikan, keadaan dalam bus sangat gelap. Kegelapan itu membuatku merasa nyaman untuk tidur. Kucari posisi yang enak untuk tidur, lalu kucoba pejamkan mata. Ketika masih di awal-awal perjalanan, masih bisa kudengar suara-suara percakapan penumpang, namun saat ini yang terdengar hanyalah deru mesin bus yang meraung-raung memecah kesunyian malam. Sepertinya semua penumpang terlalu letih untuk mengobrol, mudah-mudahan supir bus ini tidak terlalu letih hingga bisa menabrakkan bus atau membuat bus meluncur masuk ke jurang.

Dalam keadaan setengah tidur sekonyong-konyong kurasakan ada yang menggelitik di pahaku. Aku tersentak bangun dari tidur setengahku, aku masih bisa merasakannya, tapi saat aku periksa tak ada yang aneh. Beberapa lama kemudian kejadian itu terjadi lagi, terasa seperti getaran halus yang menggelitik dan bikin geli. Dan sekali lagi tak ada yang aneh dengan semua itu. Aku pun tak lagi mengantuk.

# Muka Mati?!

Bus lalu berhenti di sebuah warung makan, beberapa penumpang turun beristirahat dan mengisi perut, dan sebagian kecil tinggal saja di dalam bus. Aku termasuk salah satu dari sebagian kecil itu. Aku belum begitu merasa lapar, sebelum berangkat tadi aku sudah makan di rumah tanteku. Kupasang earphone di telingaku lalu kunyalakan mp3 player-ku, sambil menunggu bus berangkat kembali aku mendengarkan musik.

Bus telah melanjutkan perjalanannya kembali. Lewat kaca depan bus kulihat sesekali mobil lain dari arah berlawanan, membanjiri dengan lampu sorot yang menyilaukan. Selama beberapa saat kutatap saja pemandangan di depan bus yang berupa jalanan berkelok-kelok, dan kemudian kusadari… ada pemandangan yang lain di sana, di kaca depan bus itu… muncul… atau memang sedari tadi sudah ada tanpa kusadari… sebuah citra yang janggal yang membuatku terkejut, sebentuk wajah pucat muncul di kaca depan bus!!! Wajah seorang perempuan dengan mata terpejam dengan kulit kuning yang pucat. Kemudian, seperti munculnya, wajah itu pun menghilang dengan tiba-tiba. Saat kupikir itu hanya khayalanku, wajah itu kembali muncul seakan mengejek. Bukan khayalan… aku melihatnya sejelas melihat bulan sabit pucat di langit malam yang berawan…

# Suara Setan?!

Bus yang kutumpangi ini adalah bus yang dilengkapi AC. Setiap penumpang bisa merasakan dinginnya melalui lubang yang terdapat di atas setiap tempat duduk. Tentunya supir bus ini menyadari hal itu, namun kulihat supir itu merokok, terlihat dari titik merah dekat tangannya, dan samar-samar bau rokok yang memuakkan, untungnya bau rokok itu hanya sebentar saja tertangkap oleh indra penciumanku.

Aku tersentak kaget saat mendengar suara yang keras. Suara keras itu tiba-tiba saja muncul tanpa peringatan sebelumnya. Suara sekeras itu bisa membuat orang yang berpenyakit jantung terkena serangan jantung. Aku melihat ke sekeliling, dan anehnya tak ada satu orangpun yang bereaksi terhadap suara itu, padahal suara itu cukup keras untuk didengar orang sekampung yang sedang berkumpul di lapangan sempit. Apakah yang mendengar suara itu hanya aku seorang?? Atau ada penjelasan lain yang masuk akal?

# Malam Memang Misterius…

Bus telah melewati kota Samarinda, itu artinya separuh perjalanan telah terlewati. Aku dalam keadaan sangat mengantuk waktu itu dan dalam kondisi setengah tidur. Seorang ibu-ibu duduk di tempat duduk di sampingku yang tadinya kosong. Ibu itu sedang memangku anaknya yang masih kecil, dua orang, laki-laki dan perempuan. Ibu itu menyuruh anaknya untuk memakai jaketnya karena suhu di dalam bus sangat dingin. Kedua anak itu saling menggelitiki sambil tertawa-tawa geli, ibunya menegur mereka agar diam. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan panik para penumpang, berkali-kali supir bus membunyikan klakson, kemudian terjadi guncangan dahsyat saat bus menabrak sesuatu… lalu terasa sensasi yang aneh saat bus meluncur masuk ke jurang, terdengar teriakan takut, ngeri, panik, dan pasrah para penumpang, bus itu melayang jatuh ke jurang tanpa dasar, para penumpang beterbangan di dalam bus. Ibu yang tadi duduk di dekatku melayang di atasku tersenyum, kulit wajahnya perlahan-lahan rontok menimpa kepalaku, disertai tetesan-tetesan darah. Di kiri kananku kedua anaknya memegang tanganku, kulit mereka juga rontok, hingga tulang-tulang mereka tampak. Tangan-tangan kerangka mereka mencakar-cakar wajah dan leherku, berusaha mengoyak dagingku. Aku tak bisa bergerak, bahkan bersuara. Para penumpang bus itu kini berubah menjadi kerangka hidup yang tertawa-tawa mengelilingiku, mereka terus saja tertawa sambil berseru seram, “selamat bergabung di balik papan, di balik papan, di balik papan, di balik papan peti mati… hahahahahahahahahahaaaaah”. Aku pun ikut tertawa karena sudah menjadi kerangka juga, kulitku sudah rontok semua.

“Mas… Mas bangun! Sudah sampe di Balikpapan”, terdengar suara yang membangunkan aku.

Aku membuka mata dan mendapati diriku sedang berada di bus, tak ada tanda-tanda terjadi kecelakaan, kulitku juga masih utuh, itu berarti aku hanya mimpi. Kuambil ranselku kemudian bergegas turun dari bus. Leherku terasa sangat perih, kusentuh leherku lalu kulihat di telapak tanganku ada darah. Hmm… malam memang misterius…

---

---

---

Catatan tangan:

Di dunia ini memang ada hal-hal yang tak terjelaskan dan tidak masuk akal. Dunia lain itu memang ada, dalam Alquran pun telah disebutkan tentang adanya makhluk lain yang bernama Jin, yang hidup berdampingan dengan manusia di dunia. Meskipun begitu, kejadian-kejadian yang kuceritakan itu bukannya tak terjelaskan…

Begini…

# Hembusan Hantu: Rasa dingin yang kurasakan itu gara-gara AC. AC di bus itu memang sangat dingin hingga membuatku menggigil.

# Tawa Tak Tampak: Tawa yang kudengar itu tawa anak kecil, tak jelas perempuan atau laki-laki karena memang keduanya. Waktu itu tak ada anak kecil yang terlihat olehku karena terlalu gelap, lampu dalam bus dimatikan.

# Getaran Gaib: Tak ada yang aneh dengan semua itu, getaran menggelitik itu berasal dari ponselku yang kutaruh dalam saku depan celanaku, ada sms yang masuk. Aku tak lagi mengantuk karena sibuk membalas sms.

# Muka Mati: Wajah salah seorang penumpang yang duduk di kursi paling depan terpantul di kaca depan bus. Bayangan wajahnya muncul saat bus berpapasan dengan mobil lain yang cahaya lampunya memunculkan citra itu. Awalnya aku memang terkejut, tapi setelah sadar itu hanya bayangan, aku pun tak punya alasan untuk terkejut atau takut lagi.

# Suara Setan: Bunyi klakson bus itu memang keras dan membuatku kaget yang waktu itu sedang bengong, apalagi aku memang orang yang ‘kagetan’. Tentu saja penumpang lain menganggap itu hal biasa dan tidak ada yang aneh.

# Malam Memang Misterius: Penjelasan tentang hal ini adalah yang paling sederhana. Meskipun malam memang misterius, tapi mimpi itu hanya cerita karanganku saja, untuk melengkapi cerita-cerita sebelumnya, dengan kata lain: aku bohong!! HUHUHUHUHUWWWW….!

Friday, September 28, 2007

Me and the Death

Hai, perkenalkan namaku Imran. Sudah setahun aku lulus kuliah di STAN. Kegiatanku sekarang adalah magang di KPP Pratama Jakarta Menteng Satu, sambil menunggu ditempatkan. Kisah ini muncul begitu saja dalam pikiranku saat aku sedang bosan-bosannya di kantor…

Part 1
Bad Beginning

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… BRUAKKKK!!! Sebuah truk dengan kecepatan tinggi menghantam tubuhku. Tulangku remuk seperti kerupuk.


Part 2
Shocker’s Strike

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

---

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, tubuhku bergetar tersentak seperti tersengat listrik… Oww.. memang listrik, tepatnya aku disambar petir.


Part 3
Feel Flying

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

---

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas karena peganganku terlepas, meluncur ke luar lewat pintu bus dan mendarat di aspal sambil terguling-guling. Belum lagi aku berhenti berguling, sebuah sepeda motor meluncur menggilas leherku. KRAAAKKK..!


Part 4
Hammer Head

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

---

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya.

Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir mengerem bus secara mendadak, menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang tiba-tiba terjatuh. Dan seketika itu juga… DRAAAKK… PRANGGG!!!! Kepalaku menghantam kaca depan bus dengan keras hingga pecah, yang pecah kacanya dan kepalaku. Darah mengalir keluar dari retakan-retakan kepalaku yang pecah.


Part 5
Mad Monkey

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

---

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.


Part 6
The Train

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.

---

Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik berlari berhamburan keluar dari bus. Kereta semakin dekat, dengan tenang aku berjalan keluar dari bus. Aku berdiri tidak jauh dari bus, ingin menyaksikan dengan jelas peristiwa yang jarang terjadi: bus yang ditabrak kereta.

Kemudian… BRAKKKKKQQQQQQQQQQHHH!!!! Bus itu hancur berantakan ditabrak kereta yang melesat cepat. Serpihan dari bus itu terbang melesat ke segala arah. Sebuah serpihan kaca melesat menancap di leherku... CROTT… darah muncrat, kemudian disusul serpihan lain yang lebih besar menghantam kepalaku… ZRAACKKK… kepalaku terkoyak. BRUKK! Aku ambruk ke tanah berlumuran darah.


Part 7
Sad Story

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.

---

Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.

---

Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.

“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.

“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.

“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.

Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.

Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.

“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.

Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.

Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!

“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.

“Dunia memang kejam”, itulah kata-kata terakhir dari mulut supir angkot itu.

SKREEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE…………..

TIIIINNNNNNNNNN!!! TIIIIIIIIIINNNNNNNNN!!! CKIIIIIIIIIITTTTTTT……..

Angkot hampir bertabrakan dengan sebuah taksi, supir taksi membanting kemudi, angkot terus melesat meluncur menerjang lalu menghantam tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…

“AAAAAAAaaaaaaaaaarrrrrrrgggggggghhhhh….” Itu kata terakhir yang keluar dari mulutku, itupun kalau bisa disebut sebuah kata.

BRAAAAAAAAKKKKKKKKKXXXXXXXXXXXZZZZZ!!!!

……

……

……

Keadaan sang supir sangat mengenaskan, kepalanya hancur dan badannya remuk terjepit mobil yang ringsek. Dia sukses mengakhiri penderitaannya di dunia, dan memulai penderitaannya di neraka.

Aku membuka mataku, tersadar dari pingsanku, seketika gelombang rasa sakit yang luar biasa menerjangku.

Aku tak bisa berteriak, bahkan mengucapkan sepatah katapun tidak bisa, ada sesuatu yang bersarang di leherku…

Tubuhku terasa basah, dan hangat oleh darah…

Aku berusaha menggerakkan tubuhku, berusaha keluar dari angkot dengan susah payah…

sedikit lagi…

aku harus berjuang…

jangan hiraukan rasa sakit yang mendera…

Akhirnya… aku berhasil keluar dari angkot…

Ah, sial… tanganku masih ketinggalan di angkot, putus ternyata…

Aku ingin mengambilnya tapi keburu mati kehabisan darah.


Part 8
Deadly Death

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus.

“Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.

---

Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.

---

Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.

“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.

“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.

“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.

Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.

Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.

“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.

Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.

Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!

“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.

Kecepatan angkot berkurang.

“Sudah sampai ya?” tanya supir itu.

“Eh, iya… iya, Pak” jawabku.

Angkot kemudian menepi lalu berhenti. Aku mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki. Lumayanlah sudah dekat, meskipun bukan di sini seharusnya aku turun, tapi aku merasa lega. Jantungku masih berdebar-debar, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada supir angkot itu. Baru beberapa meter aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara benturan yang keras, berasal tak jauh di depanku. Aku berjalan cepat-cepat ingin tahu apa yang terjadi, dan kulihat… angkot yang tadi aku tumpangi menabrak tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…

---

Akhirnya aku sampai di kosan, aku segera merebahkan tubuhku yang lelah ke tempat tidur. Aku memejamkan mata, menikmati saat-saat istirahatku. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari atas bercampur suara dengingan… Awalnya tidak begitu jelas, lalu semakin jelas dan keras, memekakkan telinga. Atap kamarku berderak-derak sampai akhirnya runtuh menimpaku. Tubuhku hancur tertimbun reruntuhan bangunan Puri Lestari – kosanku.


Part 9
Big Bird

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus.

“Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.

---

Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.

---

Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.

“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.

“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.

“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.

Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.

Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.

“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.

Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.

Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!

“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.

Kecepatan angkot berkurang.

“Sudah sampai ya?” tanya supir itu.

“Eh, iya… iya, Pak” jawabku.

Angkot kemudian menepi lalu berhenti. Aku mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki. Lumayanlah sudah dekat, meskipun bukan di sini seharusnya aku turun, tapi aku merasa lega. Jantungku masih berdebar-debar, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada supir angkot itu. Baru beberapa meter aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara benturan yang keras, berasal tak jauh di depanku. Aku berjalan cepat-cepat ingin tahu apa yang terjadi, dan kulihat… angkot yang tadi aku tumpangi menabrak tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…

---

Akhirnya aku sampai di kosan, aku segera merebahkan tubuhku yang lelah ke tempat tidur. Tiba-tiba kepalaku pening, perasaanku tidak enak, tidak nyaman, dan aku merasa tidak aman. Aku segera keluar dari kos, hendak membeli obat sakit kepala.

Di jalan kulihat orang-orang sedang menatap ke langit. Kutengadahkan kepala dan kulihat kepulan asap yang membentang di angkasa, dari sebuah…

Burung?? Bukan!

Roket?? Mungkin…

Pesawat!!!

Pesawat jatuuuuhhhh…….!!!!

Beberapa lama aku takjub melihat pemandangan itu, sampai akhirnya sadar akan bahaya yang datang, meski sudah terlambat.

Terdengar gemuruh suara disertai dengingan mesin pesawat yang makin keras, sudah terlambat untuk menyelamatkan diri. Pesawat itu jatuh menukik menghantam atap kosanku hingga hancur, lalu terjadilah ledakan dahsyat yang menghancurkan apa yang ada di sekitarnya, termasuk aku.


Part 10
Last Life

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus.

“Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.

---

Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.

---

Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.

“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.

“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.

“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.

Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.

Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.

“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.

Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.

Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!

“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.

Kecepatan angkot berkurang.

“Sudah sampai ya?” tanya supir itu.

“Eh, iya… iya, Pak” jawabku.

Angkot kemudian menepi lalu berhenti. Aku mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki. Lumayanlah sudah dekat, meskipun bukan di sini seharusnya aku turun, tapi aku merasa lega. Jantungku masih berdebar-debar, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada supir angkot itu. Baru beberapa meter aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara benturan yang keras, berasal tak jauh di depanku. Aku berjalan cepat-cepat ingin tahu apa yang terjadi, dan kulihat… angkot yang tadi aku tumpangi menabrak tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…

---

Akhirnya aku sampai di kosan, aku segera merebahkan tubuhku yang lelah ke tempat tidur. Tiba-tiba kepalaku pening, perasaanku tidak enak, tidak nyaman, dan aku merasa tidak aman. Aku segera keluar dari kos, hendak membeli obat sakit kepala.

Di jalan kulihat orang-orang sedang menatap ke langit. Kutengadahkan kepala dan kulihat kepulan asap yang membentang di angkasa, dari sebuah… pesawat! Jangan-jangan pesawat itu jatuh…

Aku berlari dengan panik, kalau pesawat itu benar-benar jatuh… aku harus menyelamatkan diri.

Berlari… aku terus berlari, jauh… lebih jauh lagi…

Entah berapa jauh aku berlari saat suara dentuman dahsyat itu terdengar, lalu ledakan…

BOOOOOOMMMMMMMM…

DUAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR!!!!

Tanah di sekitarku bergetar, aku terjatuh… kaget setengah mati.

(Aman, aku aman… dari ledakan itu. Eh, sampai di mana aku berlari? Aku berada di sebuah jalan raya, Bintaro Jaya… )

(Apa ini? Kok ada bayangan besar… )

Aku mendongak dan melihat sebuah papan iklan raksasa sedang jatuh ke arahku, lalu menimpaku…

BUMMM!!!

THE END