Friday, August 3, 2007

Panggilan di Kegelapan Akhir Malam

Aku bangkit dari tidurku, samar-samar terdengar suara memanggil-manggil... bukan seperti bahasa yang biasa kudengar, tapi aku tahu pasti itu suara panggilan. kubuka pintu kamarku, dinginnya angin malam menyeruak masuk ke kamarku, aku mengigil. suara itu masih terdengar. aku berjalan ke kamar mandi, membasuh kulitku dengan air sedingin es, berusaha mengenyahkan sisa-sisa bunga tidur yang masih menempel di pikiranku. Suara itu... bukan bagian dari bunga tidurku, aku masih bisa mendengarnya, malah semakin jelas.

kulangkahkan kakiku menyusuri jalan-jalan kota yang sepi, sebagian besar jiwa masih terlelap di pembaringannya, memberi kesan seakan-akan kota itu telah mati. Suara itu telah berhenti, demikian pula langkahku. Di hadapanku berdiri menjulang tinggi sebuah bangunan tua yang namanya telah ada ribuan tahun yang lalu. Tanpa keraguan sedikitpun aku memasukinya, bersama beberapa orang yang juga telah dibangkitkan. Suara itu kembali terdengar memenuhi rongga kepalaku, hanya saja kali ini lebih singkat. Tak ada kebingungan, tak ada tanda tanya dalam hatiku, aku hanya melakukannya... seperti semua orang melakukannya... aku pun shalat subuh di mesjid, yang sangat jarang kulakukan.

Dan Memang Begitulah Adanya

Awalnya aku tak ingin mempublikasikan tulisan ini, karena kupikir isinya bukan gue banget. Tapi manusia itu tidak hanya terdiri dari satu sisi saja, bukan? Lagipula, seperti yang dikatakan kakakku: Don't bother with what people think. Blog for your self...

***

Jangan salahkan aku mengalaminya

Bukan aku yang mencarinya

Dia yang mendatangiku seenaknya

Menawarkan padaku segala keindahannya

Lalu membantaiku dengan kejamnya

Suatu hari di bulan Februari, kala malam mulai mendera bumi, dan bintang-bintang mulai muncul dengan cahayanya yang malu-malu. Aku terombang ambing dalam sebuah bus metromini dalam perjalanan pulang dari melaksanakan tugas rutin.

Perjalanan panjang dan melelahkan bersama bus itu akhirnya berakhir juga meskipun bukan di tempat seharusnya aku turun. Sisa perjalanan itu kutempuh dengan berjalan kaki.

Rasa lelah yang kualami bisa sedikit teratasi dengan hadirnya seorang gadis - teman senasibku - yang juga baru pulang dari tempat yang sama denganku. Gadis itu tingginya tidak melebihi aku, kalau boleh dibilang ‘mungil’. Menurutku wajahnya tidak begitu menarik, meskipun menurutku juga tidak begitu jelek. Setidaknya melihat kelelahan yang sama di diri orang lain, bagiku bisa mengurangi kelelahan diri sendiri.

Kami berjalan menyusuri trotoar di tengah hiruk pikuk manusia dan deru kendaraan yang terjebak macet. Gadis itu melangkah cepat-cepat, berusaha mengimbangi langkahku yang sudah tidak sabar ingin sampai di kost. Sebentar lagi kami berpisah di perempatan jalan yang terbentang di depan, tapi sebelum itu terjadi, gadis itu mengajakku makan malam di warung yang ada di pinggir jalan. Kupikir tak ada salahnya menemani gadis “kecil” itu makan, meskipun saat itu aku belum terlalu lapar.

Kami makan dalam diam, sampai kemudian dipecahkan oleh obrolan ringan yang tidak begitu penting. Diiringi tawa lelah yang agak dipaksakan. Sesaat kebisuan kembali melingkupi kami, tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing. Kembali menikmati makanan yang belum juga habis.

Dan kemudian aku jadi resah, aku merasa saat-saat itu seharusnya tidak aku lewatkan dalam kesia-siaan diam. Saat yang jarang kualami: makan malam bersama seorang gadis. Entah mengapa, kehadirannya di sampingku terasa begitu menyenangkan, bukan lagi karena perasaan merasa senasib, atau alasan berbingkai logika, seperti “mengurangi rasa lelah”. Perasaan ini tak terjelaskan.

Diam-diam kupalingkan wajah meliriknya, berusaha menangkap citra yang terlukis dalam wajah itu. Ternyata gadis itu lumayan manis juga, bukan hanya itu... keindahan sang bintang seakan terbias di wajahnya… entahlah, tapi dia terlihat begitu mempesona, seakan dia baru saja menyingkap tabir yang selama ini menyelubungi keindahannya.

Sebuah ketertarikan irasional pun telah terbentuk dalam diriku, yang tak terjelaskan meski oleh lukisan abstrak sekalipun. Keresahanku berubah menjadi kegelisahan yang tak wajar, kucoba mengalihkan pikiranku ke makanan yang tengah aku santap. Namun perasaan itu tak kunjung hilang, malah semakin hangat menyelimutiku seperti sebuah selimut tebal nan lembut di kala dingin menggerogoti tubuh, begitu nyaman terasa... memaksaku untuk kembali menoleh dan menatap sebuah mahakarya ciptaan Tuhan yang begitu indah, yang tengah duduk di sampingku.

Dalam sebuah warung di pinggir jalan, yang disirami warna keemasan sinar sang rembulan, aku menyadari apa yang terjadi pada diriku, dan aku pun menyerah pada perasaan ini, perasaan yang telah lama ada sejak dahulu kala, yang selalu menghiasi kisah hidup manusia. Aku tak menyangkalnya lagi kalau aku telah jatuh cinta pada gadis itu, meski oleh hal sepele makan malam berdua di warung pinggir jalan.

----

ENDING:

Setelah sekian lama rasa cinta itu bersarang di hatiku seperti sebuah parasit yang mengerikan, aku pun mendengar kabar kalau gadis itu akan segera menikah dengan pacarnya, menghancur leburkan segala harapan, asa, dan impianku. Sayangnya parasit cinta itu tetap bersarang di hatiku, tak mau pergi jua. Membuat jiwaku sekarat dan hatiku terluka parah. Dalam ketakberdayaan itu, aku bertekuk lutut pada takdir yang berdiri pongah di hadapanku. Pedang yang tergenggam erat di tangannya diayunkannya menembus dadaku, menyakitkan tapi tak mematikan.

Dan Cinta itu pun kemudian tertawa

Satu lagi manusia tolol jadi korbannya

Manusia rapuh yang dijangkiti dengan mudahnya

Benarkah diri ini sedemikian lemahnya

Aku pun bertanya pada hati yang terluka

Dan ”memang begitulah adanya”, jawabnya…