Saturday, December 15, 2007

Dalam Perjalanan di Malam Hari (Bagian 2: Rasakan Horor di Bus)

Dua minggu kemudian setelah perjalananku ke Balikpapan sebelumnya, aku kembali ke Balikpapan untuk menghabiskan akhir pekanku. Tidak seperti dua minggu yang lalu, kali itu aku naik bus AC. Meskipun perjalanannya lancar, ada beberapa kejadian di bus itu yang ingin sekali aku ceritakan…

# Hembusan Hantu?!

Pukul 7 kurang beberapa menit aku tiba di pangkalan bus yang akan aku tumpangi ke Balikpapan. Beberapa penumpang telah naik di bus, sisanya masih nongkrong di sekitar pangkalan itu sambil menunggu bus berangkat. Aku memilih untuk menunggu di dalam bus. Kuraba saku celanaku untuk memastikan kalau aku telah membawa ponselku, lalu merogoh saku jaket untuk mengambil tiket. Kulihat tiketku dan disana tertera seat 9, kuedarkan pandanganku mencari tempat duduk bernomor 9. Aku ingat kata-kata seseorang yang keberadaannya tak pernah ada bahwa angka 9 di dunia antah berantah itu merupakan angka setan.

Tempat duduk nomor 9 berada di dekat jendela, di sebelahnya masih kosong, dan kuharap akan tetap kosong sampai bus berangkat. Kutaruh ranselku di bawah kursi lalu duduk bersandar sambil memejamkan mata. Saat itulah aku merasakannya… tiba-tiba aku merasa kedinginan, aku menggigil! Aku teringat sebuah film tentang hantu yang pernah aku tonton, kehadiran hantu dalam film itu ditandai dengan suhu yang tiba-tiba jadi dingin, bahkan uap bisa keluar dari mulut saking dinginnya. Jangan-jangan bangku kosong di sebelahku…

# Tawa Tak Tampak?!

Bus berangkat tepat pukul 7 lewat sedikit. Penumpang bus ternyata tidak terlalu banyak, kursi di sebelahku kosong sehingga aku bisa menguasai dua tempat duduk. Aku bersandar dengan nyaman di kursi sambil mendengarkan lagu lewat mp3 player, kemudian samar-samar terdengar suara lain yang bercampur baur dengan lagu yang sedang kudengar. Suara itu… seperti suara tawa, tapi tidak jelas apakah itu suara perempuan atau laki-laki.

Makin lama suara itu makin jelas, kulepas earphone dari telingaku, suara itu kini sangat jelas… suara anak kecil yang sedang tertawa. Namun saat itu di bus tak ada satupun anak kecil yang terlihat olehku. Saat suara itu kembali terdengar, kutatap keluar melalui jendela bus ke arah kegelapan malam… seakan suara itu berasal dari sana…

# Getaran Gaib?!

Karena lampu dimatikan, keadaan dalam bus sangat gelap. Kegelapan itu membuatku merasa nyaman untuk tidur. Kucari posisi yang enak untuk tidur, lalu kucoba pejamkan mata. Ketika masih di awal-awal perjalanan, masih bisa kudengar suara-suara percakapan penumpang, namun saat ini yang terdengar hanyalah deru mesin bus yang meraung-raung memecah kesunyian malam. Sepertinya semua penumpang terlalu letih untuk mengobrol, mudah-mudahan supir bus ini tidak terlalu letih hingga bisa menabrakkan bus atau membuat bus meluncur masuk ke jurang.

Dalam keadaan setengah tidur sekonyong-konyong kurasakan ada yang menggelitik di pahaku. Aku tersentak bangun dari tidur setengahku, aku masih bisa merasakannya, tapi saat aku periksa tak ada yang aneh. Beberapa lama kemudian kejadian itu terjadi lagi, terasa seperti getaran halus yang menggelitik dan bikin geli. Dan sekali lagi tak ada yang aneh dengan semua itu. Aku pun tak lagi mengantuk.

# Muka Mati?!

Bus lalu berhenti di sebuah warung makan, beberapa penumpang turun beristirahat dan mengisi perut, dan sebagian kecil tinggal saja di dalam bus. Aku termasuk salah satu dari sebagian kecil itu. Aku belum begitu merasa lapar, sebelum berangkat tadi aku sudah makan di rumah tanteku. Kupasang earphone di telingaku lalu kunyalakan mp3 player-ku, sambil menunggu bus berangkat kembali aku mendengarkan musik.

Bus telah melanjutkan perjalanannya kembali. Lewat kaca depan bus kulihat sesekali mobil lain dari arah berlawanan, membanjiri dengan lampu sorot yang menyilaukan. Selama beberapa saat kutatap saja pemandangan di depan bus yang berupa jalanan berkelok-kelok, dan kemudian kusadari… ada pemandangan yang lain di sana, di kaca depan bus itu… muncul… atau memang sedari tadi sudah ada tanpa kusadari… sebuah citra yang janggal yang membuatku terkejut, sebentuk wajah pucat muncul di kaca depan bus!!! Wajah seorang perempuan dengan mata terpejam dengan kulit kuning yang pucat. Kemudian, seperti munculnya, wajah itu pun menghilang dengan tiba-tiba. Saat kupikir itu hanya khayalanku, wajah itu kembali muncul seakan mengejek. Bukan khayalan… aku melihatnya sejelas melihat bulan sabit pucat di langit malam yang berawan…

# Suara Setan?!

Bus yang kutumpangi ini adalah bus yang dilengkapi AC. Setiap penumpang bisa merasakan dinginnya melalui lubang yang terdapat di atas setiap tempat duduk. Tentunya supir bus ini menyadari hal itu, namun kulihat supir itu merokok, terlihat dari titik merah dekat tangannya, dan samar-samar bau rokok yang memuakkan, untungnya bau rokok itu hanya sebentar saja tertangkap oleh indra penciumanku.

Aku tersentak kaget saat mendengar suara yang keras. Suara keras itu tiba-tiba saja muncul tanpa peringatan sebelumnya. Suara sekeras itu bisa membuat orang yang berpenyakit jantung terkena serangan jantung. Aku melihat ke sekeliling, dan anehnya tak ada satu orangpun yang bereaksi terhadap suara itu, padahal suara itu cukup keras untuk didengar orang sekampung yang sedang berkumpul di lapangan sempit. Apakah yang mendengar suara itu hanya aku seorang?? Atau ada penjelasan lain yang masuk akal?

# Malam Memang Misterius…

Bus telah melewati kota Samarinda, itu artinya separuh perjalanan telah terlewati. Aku dalam keadaan sangat mengantuk waktu itu dan dalam kondisi setengah tidur. Seorang ibu-ibu duduk di tempat duduk di sampingku yang tadinya kosong. Ibu itu sedang memangku anaknya yang masih kecil, dua orang, laki-laki dan perempuan. Ibu itu menyuruh anaknya untuk memakai jaketnya karena suhu di dalam bus sangat dingin. Kedua anak itu saling menggelitiki sambil tertawa-tawa geli, ibunya menegur mereka agar diam. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan panik para penumpang, berkali-kali supir bus membunyikan klakson, kemudian terjadi guncangan dahsyat saat bus menabrak sesuatu… lalu terasa sensasi yang aneh saat bus meluncur masuk ke jurang, terdengar teriakan takut, ngeri, panik, dan pasrah para penumpang, bus itu melayang jatuh ke jurang tanpa dasar, para penumpang beterbangan di dalam bus. Ibu yang tadi duduk di dekatku melayang di atasku tersenyum, kulit wajahnya perlahan-lahan rontok menimpa kepalaku, disertai tetesan-tetesan darah. Di kiri kananku kedua anaknya memegang tanganku, kulit mereka juga rontok, hingga tulang-tulang mereka tampak. Tangan-tangan kerangka mereka mencakar-cakar wajah dan leherku, berusaha mengoyak dagingku. Aku tak bisa bergerak, bahkan bersuara. Para penumpang bus itu kini berubah menjadi kerangka hidup yang tertawa-tawa mengelilingiku, mereka terus saja tertawa sambil berseru seram, “selamat bergabung di balik papan, di balik papan, di balik papan, di balik papan peti mati… hahahahahahahahahahaaaaah”. Aku pun ikut tertawa karena sudah menjadi kerangka juga, kulitku sudah rontok semua.

“Mas… Mas bangun! Sudah sampe di Balikpapan”, terdengar suara yang membangunkan aku.

Aku membuka mata dan mendapati diriku sedang berada di bus, tak ada tanda-tanda terjadi kecelakaan, kulitku juga masih utuh, itu berarti aku hanya mimpi. Kuambil ranselku kemudian bergegas turun dari bus. Leherku terasa sangat perih, kusentuh leherku lalu kulihat di telapak tanganku ada darah. Hmm… malam memang misterius…

---

---

---

Catatan tangan:

Di dunia ini memang ada hal-hal yang tak terjelaskan dan tidak masuk akal. Dunia lain itu memang ada, dalam Alquran pun telah disebutkan tentang adanya makhluk lain yang bernama Jin, yang hidup berdampingan dengan manusia di dunia. Meskipun begitu, kejadian-kejadian yang kuceritakan itu bukannya tak terjelaskan…

Begini…

# Hembusan Hantu: Rasa dingin yang kurasakan itu gara-gara AC. AC di bus itu memang sangat dingin hingga membuatku menggigil.

# Tawa Tak Tampak: Tawa yang kudengar itu tawa anak kecil, tak jelas perempuan atau laki-laki karena memang keduanya. Waktu itu tak ada anak kecil yang terlihat olehku karena terlalu gelap, lampu dalam bus dimatikan.

# Getaran Gaib: Tak ada yang aneh dengan semua itu, getaran menggelitik itu berasal dari ponselku yang kutaruh dalam saku depan celanaku, ada sms yang masuk. Aku tak lagi mengantuk karena sibuk membalas sms.

# Muka Mati: Wajah salah seorang penumpang yang duduk di kursi paling depan terpantul di kaca depan bus. Bayangan wajahnya muncul saat bus berpapasan dengan mobil lain yang cahaya lampunya memunculkan citra itu. Awalnya aku memang terkejut, tapi setelah sadar itu hanya bayangan, aku pun tak punya alasan untuk terkejut atau takut lagi.

# Suara Setan: Bunyi klakson bus itu memang keras dan membuatku kaget yang waktu itu sedang bengong, apalagi aku memang orang yang ‘kagetan’. Tentu saja penumpang lain menganggap itu hal biasa dan tidak ada yang aneh.

# Malam Memang Misterius: Penjelasan tentang hal ini adalah yang paling sederhana. Meskipun malam memang misterius, tapi mimpi itu hanya cerita karanganku saja, untuk melengkapi cerita-cerita sebelumnya, dengan kata lain: aku bohong!! HUHUHUHUHUWWWW….!

Dalam Perjalanan di Malam Hari (Bagian 1)

Selama tinggal di Bontang, biasanya setiap dua minggu sekali aku berkunjung ke tempat kakakku yang ada di Balikpapan, dengan menempuh waktu 5 jam perjalanan, melintasi jalan yang membelah hutan, dan kadang-kadang mengalami suatu kejadian yang tak terduga…

Waktu itu tanggal 16 November 2007, aku dalam perjalanan ke tempat kakakku di Balikpapan. Ini bukan yang pertama kalinya buatku, jadi kurasa tak ada yang perlu dikuatirkan. Namun kemudian kenyataan mengharuskan aku merasa kuatir, jreng! jreng!!!

Mobil yang aku tumpangi ke Balikpapan yang sebelumnya dipesan lewat travel, sebelum bertolak ke Balikpapan terlebih dahulu akan menjemput penumpang satu-persatu di tempat tinggal masing-masing, dan karena kebetulan aku penumpang yang pertama dijemput, jadi aku harus menunggu lebih lama. Setelah satu jam lebih mobil berputar-putar di kota Bontang menjemput para penumpang yang kadang belum siap dijemput, akhirnya mobil melaju keluar dari kota itu menembus kegelapan malam yang menyelimuti, wuzzzzzzzz….

Di tengah perjalanaan, tiba-tiba pak supir menghentikan mobil di pinggir jalan, dekat beberapa mobil yang sedang parkir. Kebingunganku akhirnya terjawab setelah semua penumpang disuruh turun dan pindah ke mobil lain, mobil yang kutumpangi dari Bontang mengalami kerusakan pada lampu depannya. Bagiku sih tidak masalah, yang penting sampai ke tujuan dengan selamat, tapi di kemudian hari aku sadar bahwa selamat sampai ke tempat tujuan saja tidak cukup, kenyamanan saat perjalanan juga penting, hmmm…

Di mobil pengganti aku mendapat posisi yang nyaman, namun kejadian berikutnya sama sekali tidak membuatku nyaman. Baru saja mobil memasuki jalan, tiba-tiba dari arah kanan sebuah sepeda motor berkecepatan tinggi menghantam sisi kanan depan mobil hingga sepeda motor itu beserta pengendaranya terhempas ke aspal. Aku kaget bukan main, saat kulihat ke tempat jatuhnya pengendara motor itu, terlihat darah yang tercecer di aspal. Aku jadi merinding, tak berani melihat kondisi pengendara motor itu, mungkin saja organ-organ tubuhnya sudah berhamburan di jalan, karena itu aku diam saja di dalam tanpa berani melihat apa yang terjadi. Setelah bermenit-menit berlalu, kuberanikan diri melihat apa yang terjadi, sang supir dan pengendara motor itu ternyata sedang berunding, di aspal tak ada tanda-tanda darah sebagaimana yang kulihat tadi. Aku jadi bertanya-tanya apa itu hanya halusinasiku saja? Hiiiiih…

Setelah lama entah berapa lama, akhirnya sang pengendara motor melanjutkan kembali perjalanannya dan begitupun aku. Sebenarnya aku masih belum bisa menerima apa yang terjadi, seharusnya pengendara motor itu terluka parah, karena tadinya aku melihat ada darah. Tapi bagaimanapun juga aku merasa senang karena perjalanan bisa dilanjutkan kembali. Sayangnya kejadian sial kembali datang, ban mobil yang kutumpangi kempes sehingga mobil harus berhenti untuk mengganti ban. Kulihat di kiri dan kanan jalan yang ada hanya pepohonan yang rimbun, alias hutan. Beberapa penumpang ikut membantu supir mengganti ban mobil, aku yang tidak ingin mengganggu hanya diam saja di mobil dengan perasaan waswas, takut jika tiba-tiba kami dirampok, karena suasana di sekitar begitu sepi dan gelap. Samar-samar terdengar suara supir yang bernada riang: “…ehehe dongkraknya kayaknya gak bisa dipake neh” Aaaaargghhh!!!

Akhirnya setelah lama yang terasa lama sekali, ban mobil berhasil diganti setelah diganjal dengan kayu yang dicari dengan susah payah. Di sebuah pompa bensin, mobil berhenti untuk mengisi bensin. Setelah mengisi bensin, saat hendak memasuki jalan, hampir saja mobil disambar truk yang melaju cepat. Setelah semua kejadian itu kupikir takkan ada masalah lagi, sesampainya nanti di Balikpapan, semua penumpang akan diantar ke tempat tujuan masing-masing. Tapi sebuah obrolan antara penumpang dengan sang supir membuatku tak nyaman:

Penumpang 1 : Pak, nanti saya turun di dekat bandara yak?

Supir : Bandara? Ok

Penumpang 2 : Klo saya di daerah [lupa] ini ya pak?

Supir : Eeeh…

Penumpang : ???

Supir : Saya taunya cuma sampe di bandara aja, saya ne cuman supir yang jemput orang di bandara, klo daerah di Balikpapan saya gak tau.

Aku : [dalam hati] sialan! Ne supir entar mw buang aku di mana neh, gw juga gk tau daerah-daerah di Balikpapan. Mana dah tengah malem lagi, gimana nih gimana nih???

Saat waktu telah lewat tengah malam, mobil berhenti di sebuah bengkel untuk menambal ban. Dan sekali lagi aku harus menunggu lama sekali sekali lagi. Baru setelah begitu lama yang lamanya tidak tahu berapa lama pokoknya lama, akhirnya perjalanan kembali dilanjutkan. Meskipun sisa perjalanan itu ditempuh dengan lancar, aku masih bingung di Balikpapan nanti aku diturunkan di mana?

Untungnya ada salah satu penumpang yang mengenal daerah-daerah di Balikpapan, atas pentunjuknya sang supir dapat dengan sukses mengantar para penumpang ke tempat tujuan masing-masing. Perjalan dari Bontang ke Balikpapan yang seharusnya ditempuh selama kurang lebih 5 jam, berkat kejadian-kejadian tersebut di atas, akhirnya ditempuh selama kurang lebih 8 jam.

Setelah dua hari di Balikpapan aku kembali ke Bontang, dengan penuh harapan mudah-mudahan perjalan kembali ke Bontang dapat ditempuh dengan lancar tanpa halangan. Dan lalu kemudian di tengah perjalanan menuju Bontang, mobil yang kutumpangi tiba-tiba berasap, mesinnya mati, para penumpang berhamburan keluar, lalu DUARRRRRRRR!!! Mobil itu meledak!

---

(Ehm.. sebenarnya mobil itu memang berasap dan mesinnya mati, tapi tidak meledak)

Selamat Datang di Bontang

Setelah empat tahun di Jakarta, menghabiskan masa-masa kuliah dan magang, akhirnya aku ditempatkan juga bekerja, namun sayangnya tempatnya bukan di Makassar sebagaimana yang aku inginkan, tapi di suatu kota kecil di Kalimantan Timur yang bernama Bontang. Tanggal 21 Oktober 2007 aku ditemani keluargaku berangkat ke Bontang. Meskipun awalnya bikin shock, tapi setelah beberapa minggu tinggal di sana, akhirnya aku bisa juga beradaptasi.

Kalau dibandingkan temang-temanku yang lain, yang ditempatkan di Indonesia timur, aku terbilang cukup beruntung. Di Bontang belakangan aku ketahui ternyata ada keluarga jauh dari pihak ibuku. Dan biasanya setiap dua minggu sekali aku berkunjung ke tempat kakakku yang ada di Balikpapan.

Sedikit mengenai kota Bontang (berdasarkan brosur yang kudapat dari temanku):

Bontang berasal dari kata Bon dan Tang. Bon/Bond berarti perkumpulan atau gabungan (mungkin kata itu berasal dari bahasa purba yang sudah punah), sedangkan Tang akronim dari pada pendatang (Aji Pao betul-betul kreatif). Konon katanya nama itu diberikan oleh Aji Pao sang pendiri kota Bontang setelah melihat banyaknya pendatang di daerah itu yang terdiri dari berbagai etnis suku bangsa, yaitu Bajao, Bugis, Banjar, Arab, China, Melayu, dan suku Kutai.

Kota Bontang yang terletak di Propinsi Kalimantan Timur mempunyai luas wilayah kurang lebih 406.700 km2, terletak di bagian pesisir pantai bagian timur Propinsi Kalimantan Timur. Jumlah penduduknya sebanyak 117.082 jiwa pada tahun 2005. Mayoritas penduduk Bontang adalah pendatang yang mencari nafkah, baik sebagai karyawan/buruh di perusahaan besar (PT Badak NGL, PT Pupuk Kaltim Tbk, dan PT Indominco Mandiri) maupun sebagai pedagang, pengusaha, dan pegawai negeri sipil (PNS).

Salah satu obyek wisata di Bontang adalah perkampungan nelayan di atas permukaan laut yang bernama Perkampungan Bontang Kuala. Semua tempat tinggal di sana terbuat dari kayu, umumnya jenis kayu yang dipakai adalah kayu khas kalimantan bernama kayu Ulin. Bontang kuala memiliki arena berkumpulnya keluarga dan anak muda sehingga wisatawan dapat berinteraksi dengan masyarakat dari segenap penjuru Bontang, dan dapat pula menginap bersama warga lokal dengan segala kekhasannya (hanya saja jangan heran jika suatu saat anda diceburkan ke laut sebagai persembahan kepada Sang si makhluk halus penjaga daerah itu, hehehehehe…).

Yah.. yah.. yah.. dengan menulis tentang kota Bontang dapat sedikit mengobati kekecewaanku karena ditempatkan di kota itu. Terus terang saja, apa yang ditulis dalam brosur itu tidak selalu sama dengan kenyataannya, seperti kata sebuah iklan: gak semua yang lo denger itu bener…

Friday, September 28, 2007

Me and the Death

Hai, perkenalkan namaku Imran. Sudah setahun aku lulus kuliah di STAN. Kegiatanku sekarang adalah magang di KPP Pratama Jakarta Menteng Satu, sambil menunggu ditempatkan. Kisah ini muncul begitu saja dalam pikiranku saat aku sedang bosan-bosannya di kantor…

Part 1
Bad Beginning

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… BRUAKKKK!!! Sebuah truk dengan kecepatan tinggi menghantam tubuhku. Tulangku remuk seperti kerupuk.


Part 2
Shocker’s Strike

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

---

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, tubuhku bergetar tersentak seperti tersengat listrik… Oww.. memang listrik, tepatnya aku disambar petir.


Part 3
Feel Flying

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

---

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas karena peganganku terlepas, meluncur ke luar lewat pintu bus dan mendarat di aspal sambil terguling-guling. Belum lagi aku berhenti berguling, sebuah sepeda motor meluncur menggilas leherku. KRAAAKKK..!


Part 4
Hammer Head

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

---

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya.

Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir mengerem bus secara mendadak, menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang tiba-tiba terjatuh. Dan seketika itu juga… DRAAAKK… PRANGGG!!!! Kepalaku menghantam kaca depan bus dengan keras hingga pecah, yang pecah kacanya dan kepalaku. Darah mengalir keluar dari retakan-retakan kepalaku yang pecah.


Part 5
Mad Monkey

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

---

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.


Part 6
The Train

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.

---

Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik berlari berhamburan keluar dari bus. Kereta semakin dekat, dengan tenang aku berjalan keluar dari bus. Aku berdiri tidak jauh dari bus, ingin menyaksikan dengan jelas peristiwa yang jarang terjadi: bus yang ditabrak kereta.

Kemudian… BRAKKKKKQQQQQQQQQQHHH!!!! Bus itu hancur berantakan ditabrak kereta yang melesat cepat. Serpihan dari bus itu terbang melesat ke segala arah. Sebuah serpihan kaca melesat menancap di leherku... CROTT… darah muncrat, kemudian disusul serpihan lain yang lebih besar menghantam kepalaku… ZRAACKKK… kepalaku terkoyak. BRUKK! Aku ambruk ke tanah berlumuran darah.


Part 7
Sad Story

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.

---

Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.

---

Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.

“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.

“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.

“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.

Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.

Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.

“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.

Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.

Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!

“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.

“Dunia memang kejam”, itulah kata-kata terakhir dari mulut supir angkot itu.

SKREEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE…………..

TIIIINNNNNNNNNN!!! TIIIIIIIIIINNNNNNNNN!!! CKIIIIIIIIIITTTTTTT……..

Angkot hampir bertabrakan dengan sebuah taksi, supir taksi membanting kemudi, angkot terus melesat meluncur menerjang lalu menghantam tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…

“AAAAAAAaaaaaaaaaarrrrrrrgggggggghhhhh….” Itu kata terakhir yang keluar dari mulutku, itupun kalau bisa disebut sebuah kata.

BRAAAAAAAAKKKKKKKKKXXXXXXXXXXXZZZZZ!!!!

……

……

……

Keadaan sang supir sangat mengenaskan, kepalanya hancur dan badannya remuk terjepit mobil yang ringsek. Dia sukses mengakhiri penderitaannya di dunia, dan memulai penderitaannya di neraka.

Aku membuka mataku, tersadar dari pingsanku, seketika gelombang rasa sakit yang luar biasa menerjangku.

Aku tak bisa berteriak, bahkan mengucapkan sepatah katapun tidak bisa, ada sesuatu yang bersarang di leherku…

Tubuhku terasa basah, dan hangat oleh darah…

Aku berusaha menggerakkan tubuhku, berusaha keluar dari angkot dengan susah payah…

sedikit lagi…

aku harus berjuang…

jangan hiraukan rasa sakit yang mendera…

Akhirnya… aku berhasil keluar dari angkot…

Ah, sial… tanganku masih ketinggalan di angkot, putus ternyata…

Aku ingin mengambilnya tapi keburu mati kehabisan darah.


Part 8
Deadly Death

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus.

“Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.

---

Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.

---

Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.

“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.

“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.

“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.

Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.

Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.

“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.

Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.

Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!

“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.

Kecepatan angkot berkurang.

“Sudah sampai ya?” tanya supir itu.

“Eh, iya… iya, Pak” jawabku.

Angkot kemudian menepi lalu berhenti. Aku mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki. Lumayanlah sudah dekat, meskipun bukan di sini seharusnya aku turun, tapi aku merasa lega. Jantungku masih berdebar-debar, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada supir angkot itu. Baru beberapa meter aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara benturan yang keras, berasal tak jauh di depanku. Aku berjalan cepat-cepat ingin tahu apa yang terjadi, dan kulihat… angkot yang tadi aku tumpangi menabrak tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…

---

Akhirnya aku sampai di kosan, aku segera merebahkan tubuhku yang lelah ke tempat tidur. Aku memejamkan mata, menikmati saat-saat istirahatku. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari atas bercampur suara dengingan… Awalnya tidak begitu jelas, lalu semakin jelas dan keras, memekakkan telinga. Atap kamarku berderak-derak sampai akhirnya runtuh menimpaku. Tubuhku hancur tertimbun reruntuhan bangunan Puri Lestari – kosanku.


Part 9
Big Bird

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus.

“Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.

---

Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.

---

Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.

“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.

“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.

“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.

Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.

Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.

“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.

Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.

Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!

“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.

Kecepatan angkot berkurang.

“Sudah sampai ya?” tanya supir itu.

“Eh, iya… iya, Pak” jawabku.

Angkot kemudian menepi lalu berhenti. Aku mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki. Lumayanlah sudah dekat, meskipun bukan di sini seharusnya aku turun, tapi aku merasa lega. Jantungku masih berdebar-debar, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada supir angkot itu. Baru beberapa meter aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara benturan yang keras, berasal tak jauh di depanku. Aku berjalan cepat-cepat ingin tahu apa yang terjadi, dan kulihat… angkot yang tadi aku tumpangi menabrak tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…

---

Akhirnya aku sampai di kosan, aku segera merebahkan tubuhku yang lelah ke tempat tidur. Tiba-tiba kepalaku pening, perasaanku tidak enak, tidak nyaman, dan aku merasa tidak aman. Aku segera keluar dari kos, hendak membeli obat sakit kepala.

Di jalan kulihat orang-orang sedang menatap ke langit. Kutengadahkan kepala dan kulihat kepulan asap yang membentang di angkasa, dari sebuah…

Burung?? Bukan!

Roket?? Mungkin…

Pesawat!!!

Pesawat jatuuuuhhhh…….!!!!

Beberapa lama aku takjub melihat pemandangan itu, sampai akhirnya sadar akan bahaya yang datang, meski sudah terlambat.

Terdengar gemuruh suara disertai dengingan mesin pesawat yang makin keras, sudah terlambat untuk menyelamatkan diri. Pesawat itu jatuh menukik menghantam atap kosanku hingga hancur, lalu terjadilah ledakan dahsyat yang menghancurkan apa yang ada di sekitarnya, termasuk aku.


Part 10
Last Life

Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.

Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.

FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.

Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus.

“Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.

Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.

Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.

Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.

Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.

“Maah…mah… liat ada mobil gede”

Ibunya tidak menjawab.

“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”

Ibunya tetap diam.

“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”

Ibunya masih diam.

“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”

Ibunya tidak merespon

“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”

Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.

“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.

DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.

---

Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.

---

Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.

“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.

“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.

“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.

Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.

Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.

“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.

Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.

Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!

“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.

Kecepatan angkot berkurang.

“Sudah sampai ya?” tanya supir itu.

“Eh, iya… iya, Pak” jawabku.

Angkot kemudian menepi lalu berhenti. Aku mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki. Lumayanlah sudah dekat, meskipun bukan di sini seharusnya aku turun, tapi aku merasa lega. Jantungku masih berdebar-debar, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada supir angkot itu. Baru beberapa meter aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara benturan yang keras, berasal tak jauh di depanku. Aku berjalan cepat-cepat ingin tahu apa yang terjadi, dan kulihat… angkot yang tadi aku tumpangi menabrak tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…

---

Akhirnya aku sampai di kosan, aku segera merebahkan tubuhku yang lelah ke tempat tidur. Tiba-tiba kepalaku pening, perasaanku tidak enak, tidak nyaman, dan aku merasa tidak aman. Aku segera keluar dari kos, hendak membeli obat sakit kepala.

Di jalan kulihat orang-orang sedang menatap ke langit. Kutengadahkan kepala dan kulihat kepulan asap yang membentang di angkasa, dari sebuah… pesawat! Jangan-jangan pesawat itu jatuh…

Aku berlari dengan panik, kalau pesawat itu benar-benar jatuh… aku harus menyelamatkan diri.

Berlari… aku terus berlari, jauh… lebih jauh lagi…

Entah berapa jauh aku berlari saat suara dentuman dahsyat itu terdengar, lalu ledakan…

BOOOOOOMMMMMMMM…

DUAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR!!!!

Tanah di sekitarku bergetar, aku terjatuh… kaget setengah mati.

(Aman, aku aman… dari ledakan itu. Eh, sampai di mana aku berlari? Aku berada di sebuah jalan raya, Bintaro Jaya… )

(Apa ini? Kok ada bayangan besar… )

Aku mendongak dan melihat sebuah papan iklan raksasa sedang jatuh ke arahku, lalu menimpaku…

BUMMM!!!

THE END