Hai, perkenalkan namaku Imran. Sudah setahun aku lulus kuliah di STAN. Kegiatanku sekarang adalah magang di KPP Pratama Jakarta Menteng Satu, sambil menunggu ditempatkan. Kisah ini muncul begitu saja dalam pikiranku saat aku sedang bosan-bosannya di kantor…
Part 1
Bad Beginning
Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.
Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… BRUAKKKK!!! Sebuah truk dengan kecepatan tinggi menghantam tubuhku. Tulangku remuk seperti kerupuk.
Part 2
Shocker’s Strike
Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.
Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.
---
FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, tubuhku bergetar tersentak seperti tersengat listrik… Oww.. memang listrik, tepatnya aku disambar petir.
Part 3
Feel Flying
Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.
Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.
FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.
---
Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas karena peganganku terlepas, meluncur ke luar lewat pintu bus dan mendarat di aspal sambil terguling-guling. Belum lagi aku berhenti berguling, sebuah sepeda motor meluncur menggilas leherku. KRAAAKKK..!
Part 4
Hammer Head
Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.
Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.
FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.
Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.
---
Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya.
Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.
Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir mengerem bus secara mendadak, menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang tiba-tiba terjatuh. Dan seketika itu juga… DRAAAKK… PRANGGG!!!! Kepalaku menghantam kaca depan bus dengan keras hingga pecah, yang pecah kacanya dan kepalaku. Darah mengalir keluar dari retakan-retakan kepalaku yang pecah.
Part 5
Mad Monkey
Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.
Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.
FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.
Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.
Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.
Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.
---
Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.
Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.
“Maah…mah… liat ada mobil gede”
Ibunya tidak menjawab.
“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”
Ibunya tetap diam.
“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”
Ibunya masih diam.
“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”
Ibunya tidak merespon
“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”
Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.
“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.
DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.
Part 6
The Train
Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.
Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.
FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.
Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.
Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.
Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.
Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.
Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.
“Maah…mah… liat ada mobil gede”
Ibunya tidak menjawab.
“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”
Ibunya tetap diam.
“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”
Ibunya masih diam.
“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”
Ibunya tidak merespon
“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”
Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.
“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.
DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.
---
Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.
Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik berlari berhamburan keluar dari bus. Kereta semakin dekat, dengan tenang aku berjalan keluar dari bus. Aku berdiri tidak jauh dari bus, ingin menyaksikan dengan jelas peristiwa yang jarang terjadi: bus yang ditabrak kereta.
Kemudian… BRAKKKKKQQQQQQQQQQHHH!!!! Bus itu hancur berantakan ditabrak kereta yang melesat cepat. Serpihan dari bus itu terbang melesat ke segala arah. Sebuah serpihan kaca melesat menancap di leherku... CROTT… darah muncrat, kemudian disusul serpihan lain yang lebih besar menghantam kepalaku… ZRAACKKK… kepalaku terkoyak. BRUKK! Aku ambruk ke tanah berlumuran darah.
Part 7
Sad Story
Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.
Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.
FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.
Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus. “Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.
Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.
Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.
Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.
Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.
“Maah…mah… liat ada mobil gede”
Ibunya tidak menjawab.
“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”
Ibunya tetap diam.
“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”
Ibunya masih diam.
“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”
Ibunya tidak merespon
“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”
Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.
“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.
DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.
---
Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.
Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.
---
Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.
“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.
“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.
“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.
Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.
Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.
“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.
Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.
Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!
“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.
“Dunia memang kejam”, itulah kata-kata terakhir dari mulut supir angkot itu.
SKREEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE…………..
TIIIINNNNNNNNNN!!! TIIIIIIIIIINNNNNNNNN!!! CKIIIIIIIIIITTTTTTT……..
Angkot hampir bertabrakan dengan sebuah taksi, supir taksi membanting kemudi, angkot terus melesat meluncur menerjang lalu menghantam tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…
“AAAAAAAaaaaaaaaaarrrrrrrgggggggghhhhh….” Itu kata terakhir yang keluar dari mulutku, itupun kalau bisa disebut sebuah kata.
BRAAAAAAAAKKKKKKKKKXXXXXXXXXXXZZZZZ!!!!
……
……
……
Keadaan sang supir sangat mengenaskan, kepalanya hancur dan badannya remuk terjepit mobil yang ringsek. Dia sukses mengakhiri penderitaannya di dunia, dan memulai penderitaannya di neraka.
Aku membuka mataku, tersadar dari pingsanku, seketika gelombang rasa sakit yang luar biasa menerjangku.
Aku tak bisa berteriak, bahkan mengucapkan sepatah katapun tidak bisa, ada sesuatu yang bersarang di leherku…
Tubuhku terasa basah, dan hangat oleh darah…
Aku berusaha menggerakkan tubuhku, berusaha keluar dari angkot dengan susah payah…
sedikit lagi…
aku harus berjuang…
jangan hiraukan rasa sakit yang mendera…
Akhirnya… aku berhasil keluar dari angkot…
Ah, sial… tanganku masih ketinggalan di angkot, putus ternyata…
Aku ingin mengambilnya tapi keburu mati kehabisan darah.
Part 8
Deadly Death
Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.
Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.
FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.
Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus.
“Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.
Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.
Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.
Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.
Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.
“Maah…mah… liat ada mobil gede”
Ibunya tidak menjawab.
“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”
Ibunya tetap diam.
“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”
Ibunya masih diam.
“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”
Ibunya tidak merespon
“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”
Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.
“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.
DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.
---
Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.
Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.
---
Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.
“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.
“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.
“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.
Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.
Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.
“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.
Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.
Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!
“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.
Kecepatan angkot berkurang.
“Sudah sampai ya?” tanya supir itu.
“Eh, iya… iya, Pak” jawabku.
Angkot kemudian menepi lalu berhenti. Aku mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki. Lumayanlah sudah dekat, meskipun bukan di sini seharusnya aku turun, tapi aku merasa lega. Jantungku masih berdebar-debar, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada supir angkot itu. Baru beberapa meter aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara benturan yang keras, berasal tak jauh di depanku. Aku berjalan cepat-cepat ingin tahu apa yang terjadi, dan kulihat… angkot yang tadi aku tumpangi menabrak tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…
---
Akhirnya aku sampai di kosan, aku segera merebahkan tubuhku yang lelah ke tempat tidur. Aku memejamkan mata, menikmati saat-saat istirahatku. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari atas bercampur suara dengingan… Awalnya tidak begitu jelas, lalu semakin jelas dan keras, memekakkan telinga. Atap kamarku berderak-derak sampai akhirnya runtuh menimpaku. Tubuhku hancur tertimbun reruntuhan bangunan Puri Lestari – kosanku.
Part 9
Big Bird
Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.
Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.
FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.
Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus.
“Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.
Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.
Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.
Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.
Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.
“Maah…mah… liat ada mobil gede”
Ibunya tidak menjawab.
“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”
Ibunya tetap diam.
“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”
Ibunya masih diam.
“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”
Ibunya tidak merespon
“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”
Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.
“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.
DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.
---
Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.
Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.
---
Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.
“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.
“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.
“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.
Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.
Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.
“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.
Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.
Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!
“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.
Kecepatan angkot berkurang.
“Sudah sampai ya?” tanya supir itu.
“Eh, iya… iya, Pak” jawabku.
Angkot kemudian menepi lalu berhenti. Aku mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki. Lumayanlah sudah dekat, meskipun bukan di sini seharusnya aku turun, tapi aku merasa lega. Jantungku masih berdebar-debar, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada supir angkot itu. Baru beberapa meter aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara benturan yang keras, berasal tak jauh di depanku. Aku berjalan cepat-cepat ingin tahu apa yang terjadi, dan kulihat… angkot yang tadi aku tumpangi menabrak tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…
---
Akhirnya aku sampai di kosan, aku segera merebahkan tubuhku yang lelah ke tempat tidur. Tiba-tiba kepalaku pening, perasaanku tidak enak, tidak nyaman, dan aku merasa tidak aman. Aku segera keluar dari kos, hendak membeli obat sakit kepala.
Di jalan kulihat orang-orang sedang menatap ke langit. Kutengadahkan kepala dan kulihat kepulan asap yang membentang di angkasa, dari sebuah…
Burung?? Bukan!
Roket?? Mungkin…
Pesawat!!!
Pesawat jatuuuuhhhh…….!!!!
Beberapa lama aku takjub melihat pemandangan itu, sampai akhirnya sadar akan bahaya yang datang, meski sudah terlambat.
Terdengar gemuruh suara disertai dengingan mesin pesawat yang makin keras, sudah terlambat untuk menyelamatkan diri. Pesawat itu jatuh menukik menghantam atap kosanku hingga hancur, lalu terjadilah ledakan dahsyat yang menghancurkan apa yang ada di sekitarnya, termasuk aku.
Part 10
Last Life
Sore itu cuaca agak mendung, angin bertiup cukup kencang disertai kilatan petir dan suara guntur yang menggelegar. Aku berjalan cepat-cepat keluar dari kantor. Mudah-mudahan hujan belum turun sebelum aku sampai di kosan. Dari kantor ke kosku lamanya kira-kira dua jam, dengan tiga kali ganti angkutan. Perjalanan yang melelahkan, belum lagi para supir angkutan yang ugal-ugalan dan suka mengebut.
Aku paling benci menyeberang jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, seperti yang harus aku lakukan setiap kali pulang dari kantor. Beberapa menit lamanya aku berdiri di tepi jalan menunggu kesempatan untuk menyeberang, kalau begini terus bisa-bisa kehujanan nih. Dan benar saja, hujan turun tanpa permisi dengan lebatnya. Aku melihat ada celah, tanpa pikir panjang aku melesat menyeberangi jalan itu. Belum sempat aku sampai di seberang jalan, tiba-tiba kakiku terpeleset genangan air yang ada di jalan. Aku kehilangan keseimbangan terhuyung ke belakang dan… WUZZZ… Sebuah truk melesat hampir menyambar tubuhku. Dengan panik aku berjuang mencari keseimbangan lalu berusaha mencapai tepi jalan.
FIUUH… hampir saja aku celaka, tiba-tiba sebuah cahaya muncul bagaikan lampu blitz sebuah kamera raksasa, lalu BLAARR!!! terdengar suara gelegar guntur yang membahana. Aku kaget bukan main mendengarnya. Sebaiknya aku cepat-cepat, bisa-bisa aku disambar petir. Aku berlari-lari kecil melewati dua orang pekerja yang sedang mengangkat sebuah pintu kaca, mungkin untuk dipasang di kantor, karena kantor memang sedang direnovasi.
Setelah menunggu beberapa lama, bus angkutan yang kutunggu akhirnya datang juga: Kopaja #20. Aku terpaksa berdiri di dekat pintu karena tempat duduknya terisi semua dan yang berdiri juga banyak. Jalan yang dilalui cukup lengang, dan itu dimanfaatkan oleh si supir untuk mengebut. BRRRRMMMM… bus melaju dengan kencangnya, bahkan di tikungan pun tetap kencang, membuat bus sedikit oleng. Sang supir tidak menghiraukan omelan-omelan para penumpang. Aku berpegangan kuat-kuat di sandaran kursi, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu gendut yang pegangannya terlepas menubrukku, aku terhempas. Sebuah tangan menarikku sebelum tubuhku terlempar ke luar dari bus.
“Hati-hati dong, Mas. Ke tengah… ke tengah…! Tengah masih kosong tuh” kata kondektur bus yang tadi menolongku. Aku menurut, sambil memperhatikan tato bergambar tengkorak yang dipukul martil di lengan kondektur itu.
Aku turun dari bus di daerah Kuningan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Blok M dengan bus Kopaja #66. Untunglah bus kali ini tidak terlalu penuh, aku dapat tempat duduk di depan samping pak supir yang siap mengebut, mengendarai kopaja supaya cepat sampainya. Bus melaju di sepanjang jalan Gatot Subroto, biasanya jalanan tidak akan macet sampai di jalan Sudirman. Dua orang ibu-ibu yang duduk di belakangku sedang mengobrol tentang konversi minyak tanah ke gas, mereka tidak setuju dengan alasan gas itu berbahaya. Aku tersenyum mendengarnya, minyak tanah juga berbahaya kalau kita tidak hati-hati, hanya masalah takdir, pikirku.
Bus melaju semakin cepat, aku tidak ambil pusing, soalnya aku juga ingin cepat-cepat sampai. Sebuah stiker yang menempel di kaca depan bus menarik perhatianku, tulisannya tidak begitu jelas karena gaya penulisannya yang rumit. Aku mencondongkan tubuhku berusaha membaca tulisan di stiker itu, ah… yaaa… aku tahu… tulisannya: ‘MATI…’. Tiba-tiba sang supir membanting kemudi bus, membuatku terhempas ke samping. Aku kaget, ternyata sang supir berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di tengah jalan. “Sialan!! An****!!” umpat sang supir. Kulihat kembali stiker itu, tulisannya: “MATIKAN LISTRIK JIKA TIDAK DIPAKAI”.
Hujan lebat telah berganti gerimis, jalanan mulai agak macet, kemungkinan sampai di Blok M masih lama. Di sepanjang jalan Sudirman, kulihat jalur Busway koridor satu membelah jalan. Sejenak terbersit keinginan untuk naik Busway yang bebas macet, namun akhirnya kuputuskan untuk menghemat uangku tiga ribu lima ratus rupiah. Mungkin sebaiknya aku mengisi waktu sambil membaca. Kurogoh tasku mencari-cari novel yang tadi kupinjam dari temanku. Judulnya ‘Anjing Sialan’, sampulnya bergambar seekor anjing yang kepalanya terkena tembakan saat sedang melompati sebuah pagar. Judulnya aneh, sudah anjing, sialan lagi.
Membaca membuatku mengantuk, sekonyong-konyong lalu dari arah belakang kudengar suara riang anak kecil.
“Maah…mah… liat ada mobil gede”
Ibunya tidak menjawab.
“Maaaah…mah… liat ada monyetnya juga”
Ibunya tetap diam.
“Maaah…maah… liat monyetnya merokok”
Ibunya masih diam.
“Maaaaaaa… monyetnya maen musik”
Ibunya tidak merespon
“Maaah… liat banyak tabung gas yang kayak di rumah”
Aku menoleh melihat sebuah mobil truk yang mengangkut tabung gas elpiji, dan seekor monyet yang sedang merokok di dekat tabung-tabung itu sambil memukul-mukul tabung dengan palu.
“Waw… kebetulan sekali” kataku sambil menutup telinga.
DUAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Terjadi ledakan yang dahsyat. Truk itu, dan mobil-mobil di sekitarnya ikut meledak, termasuk bus yang aku tumpangi.
---
Aku terjaga dari tidurku. Weeew… mimpi yang mengerikan. Aku ketiduran saat membaca novel ‘Anjing Sialan’. Untunglah cuma mimpi, kupikir aku sudah mati. Rupanya bus telah sampai di terminal Blok M. Aku bergegas keluar dari bus menuju ke jalur 4, menunggu Metromini #71 jurusan Bintaro. Langit mulai gelap, aku perkirakan akan sampai di kosan sekitar pukul 19.30. Tak perlu menunggu terlalu lama, metromini #71 akhirnya datang, aku segera naik.
Aku menghabiskan waktu selama perjalanan dengan tidur. Aku sempat bermimpi sedang berdiri di tepi jurang, lalu tiba-tiba sebuah tangan menarik kakiku hingga aku terjatuh ke jurang... lalu terdengar bunyi dentangan. Aku dibangunkan oleh suara mirip lonceng yang berdentang, “Teng…teng…teng…teng…” yang ternyata suara peringatan kereta api akan melintas. Sebelum palang untuk mencegah kendaraan melintasi rel kereta api diturunkan, bus yang kutumpangi tetap melaju berusaha melintasi rel, rupanya sang supir sedang nekat menerobos. Malang, ban bus terperosok ke tanah yang becek saat badan bus berada di tengah rel. Supir menancap gas, namun bus tak juga maju. Dari kejauhan terdengar suara kereta api yang siap melintas. Para penumpang panik, beberapa di antaranya segera turun dari bus. Kereta semakin dekat, dan BRRRMMM… bus kembali melaju menghindari tabrakan dengan kereta api.
---
Setelah melewati perlintasan rel kereta api, aku turun dan menunggu angkot yang menuju ke Ceger. Untuk ke Ceger, aku bisa naik angkot #C09, #C05, dan angkot merah yang nomornya aku lupa. Sebuah angkot bernomor #C09 berhenti di depanku, masih kosong tak berpenumpang. Aku ragu sejenak, lalu naik dan duduk di depan samping sang supir. Begitu aku naik, angkot pun segera melaju.
“Bagaimana kehidupanmu, Nak?” tanya sang supir tiba-tiba mengagetkanku.
“Eee… Baik-baik saja, Pak” jawabku.
“Yang benar? Hidup itu kejam lho” kata sang supir lagi. Kulihat ada garis kesedihan yang terlukis di wajahnya.
Aku tidak menjawab, lalu mulailah sang supir menceritakan kehidupannya yang menyedihkan. Bagaimana istrinya meninggalkannya, anaknya yang meninggal, terlilit banyak hutang, dipecat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan, dan lain sebagainya. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa hidupku juga kadang penuh dengan kesusahan, dan kadang merasa lebih baik mati.
Kami terdiam cukup lama, yang terdengar hanya deru mesin dan suara seorang pembaca berita dari radio yang ada di angkot itu, lagi-lagi berita tentang kecelakaan pesawat, kali ini gara-gara cuaca buruk seperti saat ini.
“Baiklah… “ kata sang supir tiba-tiba.
Kulihat mata sang supir berkaca-kaca, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun diam saja. Lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali angkot tidak berhenti untuk mengambil penumpang, namun terus melaju dan bahkan semakin cepat.
Cepat… makin cepat, angkot melaju semakin cepat. Aku jadi tegang, namun tidak berani bersuara. Kulihat sang supir menatap lurus penuh konsentrasi, matanya memancarkan keteguhan niat… tapi niat apa… untuk apa…? Untuk menghibur diri dari kesedihan…? Kesedihan… kesedihan… menghilangkan kesedihan… hilang… lenyap… musnah… mati!!! Bunuh diri!!!
“Pak… eh, tunggu, anu… itu…” Aku panik.
Kecepatan angkot berkurang.
“Sudah sampai ya?” tanya supir itu.
“Eh, iya… iya, Pak” jawabku.
Angkot kemudian menepi lalu berhenti. Aku mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki. Lumayanlah sudah dekat, meskipun bukan di sini seharusnya aku turun, tapi aku merasa lega. Jantungku masih berdebar-debar, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada supir angkot itu. Baru beberapa meter aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara benturan yang keras, berasal tak jauh di depanku. Aku berjalan cepat-cepat ingin tahu apa yang terjadi, dan kulihat… angkot yang tadi aku tumpangi menabrak tembok beton kokoh pagar sebuah rumah…
---
Akhirnya aku sampai di kosan, aku segera merebahkan tubuhku yang lelah ke tempat tidur. Tiba-tiba kepalaku pening, perasaanku tidak enak, tidak nyaman, dan aku merasa tidak aman. Aku segera keluar dari kos, hendak membeli obat sakit kepala.
Di jalan kulihat orang-orang sedang menatap ke langit. Kutengadahkan kepala dan kulihat kepulan asap yang membentang di angkasa, dari sebuah… pesawat! Jangan-jangan pesawat itu jatuh…
Aku berlari dengan panik, kalau pesawat itu benar-benar jatuh… aku harus menyelamatkan diri.
Berlari… aku terus berlari, jauh… lebih jauh lagi…
Entah berapa jauh aku berlari saat suara dentuman dahsyat itu terdengar, lalu ledakan…
BOOOOOOMMMMMMMM…
DUAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR!!!!
Tanah di sekitarku bergetar, aku terjatuh… kaget setengah mati.
…
…
(Aman, aku aman… dari ledakan itu. Eh, sampai di mana aku berlari? Aku berada di sebuah jalan raya, Bintaro Jaya… )
(Apa ini? Kok ada bayangan besar… )
Aku mendongak dan melihat sebuah papan iklan raksasa sedang jatuh ke arahku, lalu menimpaku…
BUMMM!!!
THE END